Sepuluh November, Peringatan Hari Pahlawan. Peringatan
tersebut adalah untuk mengenang jasa-jasa pahlawan Indonesia yang dengan semangat dan
kegigihannya rela berkorban demi satu kata yaitu Merdeka. Peringatan yang
sekiranya dapat kita jadikan refleksi atas keadaan Indonesia saat ini. Memperingati
mereka tidak sekedar mengenang jasa mereka, namun lebih dari itu semangat dan
kegigihan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa patut menjadi tauladan
kita untuk menuju kearah Indonesia
yang sejahtera, adil, dan makmur. Pahlawan sejatinya adalah seorang yang dengan
keberaniannya serta pengorbanannya rela berkorban demi membela kebenaran dan
kepentingan rakyat, seorang pejuang yang gagah berani. Dahulu di jaman
kemerdekaan seorang yang disebut pahlawan adalah orang yang dengan
keberaniannya membela bangsanya dan berusaha merebut kemerdekaan dari tangan
para penjajah. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang terkenal di jaman dahulu
seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasannudin, Tuanku Imam
Bonjol, dan masih banyak lagi adalah mereka-mereka yang berusaha dengan segenap
jiwa raganya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Perjuangan yang tak kenal
lelah tersebut senantiasa dilanjutkan hingga tercapainya kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia .
Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
oleh dua tokoh yang dipercaya oleh rakyat Indonesia kala itu untuk memimpin
Negara ini yaitu Soekarno-Hatta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pahlawan adalah
orang yg menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dulu membela kebenaran;
pejuang yg gagah berani. Didalam Undang-undang No 20 Tahun 2009 Tentang Gelar,
Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dijelaskan definisi dari pahlawan yaitu Pahlawan Nasional adalah gelar yang
diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan
penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau
yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi
dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara
Republik Indonesia. Kita tahu, bahwa Indonesia yang terdiri dari 33
propinsi ini pastilah memiliki pahlawan mereka masing-masing. Pahlawan yang
senantiasa berjuang walaupun hanya pada kisaran daerahnya sendiri. Entah berapa
puluh ribu pahlawan yang ada di Indonesia
jika kita runut mulai dari jaman perjungan hingga sekarang ini. Pastinya mereka
telah berjuang demi kemerdekaan Negara ini dengan caranya masing-masing.
Surakarta atau lebih dikenal dengan
kota Solo juga memiliki tokoh-tokoh yang berperan dalam pergerakan melawan
kolonial Belanda. K.H. Samanhoedi pendiri Sarekat Dagang Islam. Awalnya organisasi
ini dibentuk dengan maksud untuk menghimpun pedagang pribumi Muslim (khususnya
pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar dari
Tionghoa. SDI sebagai organisasi ekonomi memiliki dasar perekonomian rakyat dan
agama Islam sebagai penggeraknya. Namun pada tahun 1912 SDI berganti nama
menjadi Sarekat Islam seiring dengan pergantian pimpinan dalam organisasi.
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah ketua terpilih Sarekat Islam. Dibawah
pimpinan HOS Tjokroaminoto ini Sarekat Islam tidak hanya bergerak pada bidang
ekonomi saja melainkan juga pada bidang politik.
Di dalam Sarekat Islam inilah masuk
tokoh Muslim Solo yaitu Mohammad Misbach. Seiring dengan makin berkembang dan
majunya usaha batik yang diteruskannya dari sang ayah, Misbach memutuskan masuk
dalam organisasi ini. Pada tahun pertama ia masuk, Misbach tidak begitu aktif
dalam organisasi ini. Namun pada tahun 1914, Sarekat Islam membentuk Indlandsche
Journalisten Bond (IJB) dan Misbach mulai aktif dalam organisasi tersebut
melalui media massa. Melalui media massa itu pula Misbach aktif dalam
menuangkan gagasan-gagasan keislamannya, mendirikan sekolah-sekolah Islam, dan
menerbitkan surat kabar Islam.
Misbach sangat tidak suka dengan orang
yang mengaku Islam namun tidak pernah berbuat untuk membantu kaum dhuafa. Dia
juga sangat membenci perilaku muslim pada jaman itu yang gemar menghisap peluh
kaum muslim lain hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Melalui media massa
pula dia mengkritik dan melawan penyakit-penyakit tersebut. Pada tahun 1915,
Misbach menerbitkan Medan Moeslimin, surat kabar bulanan. Dua tahun kemudian
diterbitkannya pula Islam Bergerak. Didalam Islam Bergerak edisi April 1919,
Misbach membuat kartun yang isinya menetang perbuatan kapitalis Belanda yang
menghisap petani, bersama mempekerjapaksakan mereka, memberi upah kecil,
menarik pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena
ikut-ikutan menindas. Kalimat yang cukup membakar gelora petani didalam kartun
tersebut adalah “Jangan takut, jangan khawatir”. Kalimat tersebut tak ayal
berhasil membuat petani melakukan aksi mogok. Sikap keras dan ekstrim Misbach
ini bukan tanpa resiko. Dia ditangkap pada 7 Mei 1919, setelah melakukan
belasan pertemuan kring (sub kelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach
dibebaskan pada 22 Oktober.
Penjara tidak membuatnya mundur
selangkah pun dalam melawan penindasan. Misbach malah tidak henti-hentinya
menyuarakan agar jangan takut dihukum, dibuang, dan digantung demi keadilan.
Seraya dengan perlawanannya atas penindasan rakyat tersebut, Misbach juga
memaparkan bagaimana dahulu Nabi Muhammad pun bersusah payah untuk dapat
menyebarkan ajaran Islam. Baginya ajaran Islam menjadi senjata perlawanan atas
penindasan terhadap rakyat oleh pemerintah Kolonial Belanda beserta para antek-anteknya.
Misbach mengidentikkan perjuangan muslim progresif sebagai Islam Sejati. Karena
didalam Islam terdapat anjuran untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
kemanusiaan dan sebagainya yang harus diterapkan melalui politik dan sosial.
Misbach memperjuangkan semangat religius untuk membebaskan rakyat dari
ketertindasan.
Misbach sangat antikapitalis.
Barangsiapa yang dengan jelas mendukung kapitalisme dan menjadi antek-antek
kapitalis serta menyengsarakan rakyat, dia tak segan akan menghujat dan menyerangnya
melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tidak peduli siapapun
orangnya, baik itu kaum priyayi maupun aktivis Islam sekalipun. Bagi Misbach
perundingan dan perdamaian dengan pemerintah Hindia Belanda adalah suatu bentuk
penyelewengan atas misi keadilan. Misbach yang juga mengagumi Karl Marx ini
menulis sebuah artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Bagi Misbach,
Marx adalah tokoh yang mencacat sisten kapitalisme yang berujung pada runtuhnya
nilai-nilai kemanusiaan.
Medan Moeslimin yang terbit pada 1
April 1926 memuat artikel Misbach, Nasehat, yang antara lain menyatakan: agama
berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan
untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia
hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Misbach membagi Budi menjadi tiga
bagian. Budi yang pertama adalah budi kemanusiaan yang dasarnya mempunyai
persaaan keselamatan umum. Budi yang kedua adalah budi binatang. Budi binatang
ini hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Budi yang terakhir
adalah budi setan, budi yang selalu berbuat kerusakan bagi keselamatan umum.
Biografi Singkat Haji Misbach
Hadji Mohammad Misbach lahir pada
tahun 1879 di Kauman Surakarta yang letaknya berada di sisi barat alun-alun
utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung. Semasa kecil dia
dipanggil Achmad dan namanya berganti menjadi Darmodiprono setelah ia menikah.
Namanya berganti lagi menjadi Haji Mohammad Misbach setelah dia melaksanakan ibadah
haji di tanah suci Mekkah. Lingkungan keluarganya bukanlah penganut Islam
fundamental. Latar belakang orang tua Misbach tidak memiliki dasar agama yang
kuat meskipun mereka bekerja menjadi pejabat keagaamaan di Kraton Surakarta.
Namun oleh orang tuanya, Misbach disekolahkan didalam pesantren. Misbach juga
sempat masuk sekolah Bumi Putra kelas dua selama dua bulan.
Misbach dewasa adalah seorang pekerja
keras. Semangat usaha yang ia warisi dari bapaknya membuat dia menjadi pedagang
batik yang sukses dan memiliki rumah pembatikan sendiri. Namun pada tahun 1914,
Misbach meninggalkan dunia usahanya dan mulai masuk pada dunia intelektual dan
organisasi. Misbach bergabung menjadi anggota Indiansche Journalisten Bond
(IJB) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo. Bagi Mas Marco, sosok seorang
Misbach adalah sosok seorang muslim yang tidak terjebak pada simbol-simbol
keagamaan, ia tak segan untuk bergaul dengan orang yang lebihmuda dan tak segan
pula mengkritik mereka yang mengaku Islam namun enngan untuk berjuang bersama
rakyat dan hanya sibuk mengumpulkan harta benda.
Misbach mendirikan surat kabar bulanan
Medan Moeslimin dan Islam Bergerak sebagai alat perjuangannya dalam melawan
kapitalis Belanda. Karena kritikannya yang tajam terhadap pemerintahan Hindia
Belanda dan gugatannya terhadap Paku
Buwono X dia dipenjara di penjara Pekalongan pada 7 Mei 1919. Namun pada
tanggal 22 Oktober 1919, dia dibebaskan. Misbach kembali dijebloskan ke penjara
pada 20 Oktober 1923 dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu
pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain. Meski
kemudian Misbach tidak terbukti terlibat dalam aksi-aksi tersebut, tetapi
pemerintah Belanda tetap memutuskan Misbach untuk dibuang ke Manokwari, Papua.
Dalam pembuangan itulah istrinya meninggal karena penyakit Malaria. Dan Misbach
meninggal pada 24 Mei 1926 di usia 47 tahun dan dimakamkan di kuburan Penindi,
Manokwari, Papua. Sosok “Kiai Merah” ini adalah seorang yang gagah berani
melawan kolonialisme Belanda, “seorang ksatria sejati” yang mengorbankan
seluruh hidupnya untuk pergerakan melawan penindasan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar