Total Tayangan Halaman

Rabu, 14 November 2012

HAJI MISBACH “KIAI MERAH” KAUMAN YANG TERLUPAKAN


Sepuluh November, Peringatan Hari Pahlawan. Peringatan tersebut adalah untuk mengenang jasa-jasa pahlawan Indonesia yang dengan semangat dan kegigihannya rela berkorban demi satu kata yaitu Merdeka. Peringatan yang sekiranya dapat kita jadikan refleksi atas keadaan Indonesia saat ini. Memperingati mereka tidak sekedar mengenang jasa mereka, namun lebih dari itu semangat dan kegigihan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa patut menjadi tauladan kita untuk menuju kearah Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Pahlawan sejatinya adalah seorang yang dengan keberaniannya serta pengorbanannya rela berkorban demi membela kebenaran dan kepentingan rakyat, seorang pejuang yang gagah berani. Dahulu di jaman kemerdekaan seorang yang disebut pahlawan adalah orang yang dengan keberaniannya membela bangsanya dan berusaha merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Pahlawan-pahlawan Indonesia yang terkenal di jaman dahulu seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasannudin, Tuanku Imam Bonjol, dan masih banyak lagi adalah mereka-mereka yang berusaha dengan segenap jiwa raganya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Perjuangan yang tak kenal lelah tersebut senantiasa dilanjutkan hingga tercapainya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh dua tokoh yang dipercaya oleh rakyat Indonesia kala itu untuk memimpin Negara ini yaitu Soekarno-Hatta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pahlawan adalah orang yg menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dulu membela kebenaran; pejuang yg gagah berani. Didalam Undang-undang No 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dijelaskan definisi dari pahlawan yaitu Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Kita tahu, bahwa Indonesia yang terdiri dari 33 propinsi ini pastilah memiliki pahlawan mereka masing-masing. Pahlawan yang senantiasa berjuang walaupun hanya pada kisaran daerahnya sendiri. Entah berapa puluh ribu pahlawan yang ada di Indonesia jika kita runut mulai dari jaman perjungan hingga sekarang ini. Pastinya mereka telah berjuang demi kemerdekaan Negara ini dengan caranya masing-masing.
Surakarta atau lebih dikenal dengan kota Solo juga memiliki tokoh-tokoh yang berperan dalam pergerakan melawan kolonial Belanda. K.H. Samanhoedi pendiri Sarekat Dagang Islam. Awalnya organisasi ini dibentuk dengan maksud untuk menghimpun pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar dari Tionghoa. SDI sebagai organisasi ekonomi memiliki dasar perekonomian rakyat dan agama Islam sebagai penggeraknya. Namun pada tahun 1912 SDI berganti nama menjadi Sarekat Islam seiring dengan pergantian pimpinan dalam organisasi. Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah ketua terpilih Sarekat Islam. Dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto ini Sarekat Islam tidak hanya bergerak pada bidang ekonomi saja melainkan juga pada bidang politik.
Di dalam Sarekat Islam inilah masuk tokoh Muslim Solo yaitu Mohammad Misbach. Seiring dengan makin berkembang dan majunya usaha batik yang diteruskannya dari sang ayah, Misbach memutuskan masuk dalam organisasi ini. Pada tahun pertama ia masuk, Misbach tidak begitu aktif dalam organisasi ini. Namun pada tahun 1914, Sarekat Islam membentuk Indlandsche Journalisten Bond (IJB) dan Misbach mulai aktif dalam organisasi tersebut melalui media massa. Melalui media massa itu pula Misbach aktif dalam menuangkan gagasan-gagasan keislamannya, mendirikan sekolah-sekolah Islam, dan menerbitkan surat kabar Islam.
Misbach sangat tidak suka dengan orang yang mengaku Islam namun tidak pernah berbuat untuk membantu kaum dhuafa. Dia juga sangat membenci perilaku muslim pada jaman itu yang gemar menghisap peluh kaum muslim lain hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Melalui media massa pula dia mengkritik dan melawan penyakit-penyakit tersebut. Pada tahun 1915, Misbach menerbitkan Medan Moeslimin, surat kabar bulanan. Dua tahun kemudian diterbitkannya pula Islam Bergerak. Didalam Islam Bergerak edisi April 1919, Misbach membuat kartun yang isinya menetang perbuatan kapitalis Belanda yang menghisap petani, bersama mempekerjapaksakan mereka, memberi upah kecil, menarik pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Kalimat yang cukup membakar gelora petani didalam kartun tersebut adalah “Jangan takut, jangan khawatir”. Kalimat tersebut tak ayal berhasil membuat petani melakukan aksi mogok. Sikap keras dan ekstrim Misbach ini bukan tanpa resiko. Dia ditangkap pada 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (sub kelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober.
Penjara tidak membuatnya mundur selangkah pun dalam melawan penindasan. Misbach malah tidak henti-hentinya menyuarakan agar jangan takut dihukum, dibuang, dan digantung demi keadilan. Seraya dengan perlawanannya atas penindasan rakyat tersebut, Misbach juga memaparkan bagaimana dahulu Nabi Muhammad pun bersusah payah untuk dapat menyebarkan ajaran Islam. Baginya ajaran Islam menjadi senjata perlawanan atas penindasan terhadap rakyat oleh pemerintah Kolonial Belanda beserta para antek-anteknya. Misbach mengidentikkan perjuangan muslim progresif sebagai Islam Sejati. Karena didalam Islam terdapat anjuran untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan sebagainya yang harus diterapkan melalui politik dan sosial. Misbach memperjuangkan semangat religius untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan.
Misbach sangat antikapitalis. Barangsiapa yang dengan jelas mendukung kapitalisme dan menjadi antek-antek kapitalis serta menyengsarakan rakyat, dia tak segan akan menghujat dan menyerangnya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tidak peduli siapapun orangnya, baik itu kaum priyayi maupun aktivis Islam sekalipun. Bagi Misbach perundingan dan perdamaian dengan pemerintah Hindia Belanda adalah suatu bentuk penyelewengan atas misi keadilan. Misbach yang juga mengagumi Karl Marx ini menulis sebuah artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Bagi Misbach, Marx adalah tokoh yang mencacat sisten kapitalisme yang berujung pada runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan.
Medan Moeslimin yang terbit pada 1 April 1926 memuat artikel Misbach, Nasehat, yang antara lain menyatakan: agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Misbach membagi Budi menjadi tiga bagian. Budi yang pertama adalah budi kemanusiaan yang dasarnya mempunyai persaaan keselamatan umum. Budi yang kedua adalah budi binatang. Budi binatang ini hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri. Budi yang terakhir adalah budi setan, budi yang selalu berbuat kerusakan bagi keselamatan umum.

Biografi Singkat Haji Misbach
Hadji Mohammad Misbach lahir pada tahun 1879 di Kauman Surakarta yang letaknya berada di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung. Semasa kecil dia dipanggil Achmad dan namanya berganti menjadi Darmodiprono setelah ia menikah. Namanya berganti lagi menjadi Haji Mohammad Misbach setelah dia melaksanakan ibadah haji di tanah suci Mekkah. Lingkungan keluarganya bukanlah penganut Islam fundamental. Latar belakang orang tua Misbach tidak memiliki dasar agama yang kuat meskipun mereka bekerja menjadi pejabat keagaamaan di Kraton Surakarta. Namun oleh orang tuanya, Misbach disekolahkan didalam pesantren. Misbach juga sempat masuk sekolah Bumi Putra kelas dua selama dua bulan.
Misbach dewasa adalah seorang pekerja keras. Semangat usaha yang ia warisi dari bapaknya membuat dia menjadi pedagang batik yang sukses dan memiliki rumah pembatikan sendiri. Namun pada tahun 1914, Misbach meninggalkan dunia usahanya dan mulai masuk pada dunia intelektual dan organisasi. Misbach bergabung menjadi anggota Indiansche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo. Bagi Mas Marco, sosok seorang Misbach adalah sosok seorang muslim yang tidak terjebak pada simbol-simbol keagamaan, ia tak segan untuk bergaul dengan orang yang lebihmuda dan tak segan pula mengkritik mereka yang mengaku Islam namun enngan untuk berjuang bersama rakyat dan hanya sibuk mengumpulkan harta benda.
Misbach mendirikan surat kabar bulanan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak sebagai alat perjuangannya dalam melawan kapitalis Belanda. Karena kritikannya yang tajam terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan  gugatannya terhadap Paku Buwono X dia dipenjara di penjara Pekalongan pada 7 Mei 1919. Namun pada tanggal 22 Oktober 1919, dia dibebaskan. Misbach kembali dijebloskan ke penjara pada 20 Oktober 1923 dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain. Meski kemudian Misbach tidak terbukti terlibat dalam aksi-aksi tersebut, tetapi pemerintah Belanda tetap memutuskan Misbach untuk dibuang ke Manokwari, Papua. Dalam pembuangan itulah istrinya meninggal karena penyakit Malaria. Dan Misbach meninggal pada 24 Mei 1926 di usia 47 tahun dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, Papua. Sosok “Kiai Merah” ini adalah seorang yang gagah berani melawan kolonialisme Belanda, “seorang ksatria sejati” yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan melawan penindasan Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar