Indonesia merupakan Negara kepulauan dimana terdapat kurang lebih 13.000 pulau yang tersebar di seantero nusantara. Suku dan budaya di Indonesia pun sangatlah beragam pula. Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia ini terpecah ke dalam 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Sungguh luas dan kaya Negara ini. Terbaginya Indonesia ke dalam 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota ini menimbulkan konsekuensi yang logis akan pembagian wewenang dalam pemerintahaan.
Pembagian wewenang dalam pemerintahan terbagi menjadi 2, yaitu pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian ini didasarkan pada asas otonomi daerah yang diarahkan untuk dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerahnya masing-masing. Prinsip ini memberikan kewenangan daerah seluas-luasnya untuk dapat mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Daerah juga diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selain pemberian wewenang dalam mengatur dan mengelola daerahnya sendiri, daerah juga diberi wewenang untuk menentukan dan memilih pemimpinnya sendiri. Ini dimaksudkan agar daerah dipimpin oleh putra-putri daerah yang mengetahui dan paham akan potensi-potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sehingga, ketika pemerintah daerah mengeluarkan suatu kebijakan, harapannya adalah kebikajakan tersebut tepat guna bagi masyarakat daerah tersebut.
Inilah yang disebut desentralisasi, dimana ada penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia1. Desentralisasi diterapkan didalam tatana pemerintahan di Indonesia dengan harapan agar terjadi pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Proses PEMILUKADA (Pemilihan Umum Kepala Daerah) dilakukan oleh KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Proses PEMILUKADA ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Tiap-tiap calon kepala daerah diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang.
PEMILUKADA GUBERNUR
PEMILUKADA Gubernur adalah suatu proses tahapan pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi. Rakyat memilih pasangan calon yang diusung oleh partai poitik atau perseorangan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di provinsinya. Proses pemilihan ini diselenggarakan oleh KPU Provinsi dengan memerhatikan pedoman dari KPU. Mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur ini pun telah diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dewasa ini pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi ini memunculkan beberapa pertanyaan. Melihat kondisi riil saat ini, gubernur memiliki 2 wewenang yaitu selain sebagai kepala daerah juga sebagai kepala administrasi. Terkait sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, gubernur sangat minim peranannya dalam upaya peningkatan potensi daerah. Kerangka otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia telah memberikan kewenangan yang seluas-luasnya terhadap kepala daerah dalam hal ini bupati dan walikoa untuk dapat mengelola daerahnya masing-masing guna pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pemilihan gubernur langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kita lihat saja biaya pilkada Jawa Timur Desember 2008 misalnya, menelan Rp 830 milyar. Pemilihan Gubernur Sumbar 2005 yang berpenduduk 8% dari penduduk Jawa Timur, menghabiskan Rp 24 milyar. Pemilihan Gubernur Sumbar 2010 diperkirakan sekitar Rp 110 milyar2. Itu belum termasuk biaya untuk pemilihan bupati/walikota di daerah masing-masing. Hal tersebut kuranglah efisien, melihat kondisi bangsa ini yang sedang mengalami krisis dan melihat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia masih cukup memprihatinkan. Anggaran tersebut alangkah baiknya jika digunakan untuk menjalankan program-program pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pemilukada gubernur pastilah berpotensi menimbulkan konflik. Tidak dipungkiri jika konflik pasti akan mengiringi demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Adanya konflik tentu bukan untuk diperbesar atau sebaliknya dihilangkan sama sekali, tapi justru yang paling penting konflik perlu dikelola dengan baik. Konflik yang biasa muncul mengiringi pemilihan kepala daerah dibagi menjadi 2 kategori, konflik horizontal dan konflik vertical. Konflik horizontal adalah konflik diantara pasangan kandidat, sedangkan konflik vertikal berarti konflik antara kandidat dengan KPU sebagai lembaga penyelenggara pilkada. Konflik horizontal yang melibatkan antar pasangan cagub/cawagub ini terkait dengan persaingan secara tidak sehat antar pasangan cagub/cawagub dalam usahanya untuk merebut perhatian dan mencari pendukung guna menduduki jabtan no 1 di tingkat provinsi. Peta persaingan yang ketat antar pasangan cagub/cawagub memunculkan adanya indikasi-indikasi praktik kecurangan dalam persaingan (black campaign). Konflik vertical contohnya ketidak puasan salah satu pasangan cagub/cawagub terhadap KPU terkait daftar pemilih tetap (DPT) dan konflik sengketa hasil penghitugan suara.
Biaya dalam pemilukada gubernur selain biaya untuk menyelenggarakan hajatan provinsi, juga ada pula biaya modal yang digunakan masing-masing calon pasangan gubernur dan wakil gubernur untuk mempromosikan dirinya kepada masyarakat atau sebagai modal kampanye. Anggaran yang keluar untuk proses kampanye ini cukuplah besar. Kita ambil contoh pemilihan gubernur Jawa Timur. pasangan calon Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa), yang mulai mempublikasikan diri sejak sebelum pilgub jatim bergulir, telah menghabiskan biaya sekitar Rp 1,3 triliun. Pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) juga tidak berbeda. Pada 2 Juli lalu, uang Rp 1 miliar disumbangkan pasangan itu sebagai dana abadi kepada Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jatim. Pasangan Achmady- Soehartono (Achsan) dalam diskusi Publik Bicara di Surabaya, Kamis pekan lalu, mengatakan, tim ini akan mengutamakan hal yang lebih substansial ketimbang sosialisasi dan kampanye yang menghabiskan uang banyak. Namun, dalam proposal pencarian biaya politik untuk pemenangan pasangan calon kepala daerah itu tertulis anggaran yang diperlukan Rp 709 miliar. Hal ini sangat sulit dipantau oleh KPU karena pelaporan penggunaan dana kampanye wajib dilaporkan selambatnya 3 hari3. Munculnya biaya-biaya yang besar itu karena dalam pembiayaan pemilukada tidak hanya untuk kampanye saja, melainkan juga untuk tim sukses dan tim kampanye, bahkan indikasi kecurangan berupa money politic pun juga. Padahal jika dihitung secara cermat, gaji seorang gubernur selama satu peroide tidak akan cukup untuk bisa mengembalikan modal kampanye pemilukada.
Pemilihan gubernur langsung oleh rakyat saat ini memang masih menjadi solusi yang terbaik untuk digunakan dalam system pemerintahan daerah di Indonesia. Namun satu hal yang perlu dicermati, bahwa pemilihan gubernur langsung oleh rakyat ini juga memiliki problematika. Walaupun problem yang muncul tidak begitu besar, namun cukup mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Contoh, ketika presiden terpilih merupakan presiden dari partai A sedangkan gubernur yang terpilih berasal dari partai B yang beroposisi terhadap partai A. Hal yang demikian inilah yang menjadi problematika ketika pemerintah pusat dalam hal ini presiden menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh seluruh lapisan pemerintah di daerah. Sedangkan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh partai oposisi. Maka bukan tidak mungkin tugas gubernur sebagai penghubung atau coordinator antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak menjalankan tugasnya dengan baik untuk menyampaikan kebijakan pemerintah pusat kepada daerah-daerah di bawahnya. Contoh kasus yang sekarang terjadi adalah kebijakan pemerintah pusat mengenai penakan harga BBM yang saat ini ditentang selain oleh elemen masyarakat dan mahasiswa, juga ditentang oleh kepala daerah di berbagai daerah di Indonesia. Contoh gubernur yang menentangnya adalah Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika yang notebenenya adalah kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perujuangan (PDI P).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar