Total Tayangan Halaman

Rabu, 17 April 2013

Tjokroaminoto, Ratu Adil Pendiri Pergerakan Indonesia



Gerakan rakyat hari ini seperti demonstrasi, berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah sebuah warisan dari zaman pergerakan Indonesia zaman dahulu. Perjuangan dalam mencari status hukum yang sederajat dengan bangsa-bangsa  yang lain merupakan suatu ikhtiar dari pendahulu negara ini. Dibagi-baginya status hukum warga Hindia Belanda di kala penjajahan Belanda menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda kala itu.

Pergerakan bangsa Indonesia baru muncul di awal abad 20, dimana sejarah mengatakan seorang Tirto Adhisoerjo adalah pribumi pertama yang berhasil menancapkan semangat pergerakan di Indonesia. Perannya sebagai pemantik pergerakan Indonesia memberikan warna baru bagi Hindia Belanda di kala itu. Gerakan-gerakan rakyat yang menampakan diri dalan surat kabar, rapat dan pertemuan besar, organisasi dan serikat pekerja merupakan fenomena diawal kebangkitan bumiputra.
Tokoh-tokoh pergerakan pasca Tirto Adhosoerjo pun semakin banyak bermunculan. Kemunculan mereka tak lain menuntut status yang sama bagi golongan bumiputra. Salah satu tokoh yang kemunculannya disebut-sebut sebagai Ramalan Jayabaya adalah Oemar Said Tjokroaminoto. Pria kelahiran 16 Agustus 1882 di Desa Bakur, Sawahan, Madiun adalah sosok Prabu Heru Tjokro dalam Ramalan Jayabaya.1 Tak banyak kisah dimasa kecilnya yang bisa diceritakan selain kenalakalannya sebagi putra wedana2. Kecerdasan yang dimiliki Tjokro berhasil membuatnya lulus sekolah OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) Magelang, sekolah pendidikan pegawai pribumi.
Lulus dari OSVIA, Tjokro menjadi juru tulis di Kepatihan Ngawi. Namun karena hati merasa risih dan tak nyaman dengan sistem birokrasi dan feodal Jawa seperti perintah jongkok dan menyembah, Tjokro akhirnya mundur dari jabtannya pada tahun 1905. Keputusannya inilah yang kemudian membuat hubungannya dengan orang tua Soeharsikin (istri Tjokroaminoti) yang sekaligus mertua Tjokro menjadi memanas. Bahkan Tjokro hampir dibunuh oleh mertuanya sendiri. Jiwa pemberontak yang sudah dimilikinya sejak kecil membuat dia semakin memberontak terhadap gaya feodalistis Jawa. Adat sembah dan jongkok adalah adat Modjopaitan atau adat kodokan.3
Pasca mundur dari jabatan birokrasi di Kepatihan Ngawi, Tjokro kemudian hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, Tjokro kemudian mengikuti kursus-kursus mempelajari teknik mesin dan kemudian bekerja sebagai teknisi di pabrik gula Rogojampi diluar Surabaya. Pada Mei 1912 dia didatangi Samanhoedi dan itulah awal Tjokro mengenal Sarekat Islam.
Rekso Roemekso dan Sarekat Dagang Islam
Samanhoedi seorang saudagar batik asal Laweyan Solo datang ke Surabaya menemui Tjokroaminoto dan Tjokrosoedarmono seorang juru tulis di kantor notaris Belanda. Kedatangan Samanhoedi menemui Tjokro adalah untuk meminta bantuan membuat anggaran dasar baru bagi Sarekat Islam. Pada Mei 1912, Tjokroaminoto dan Tjokrosoedarmono bergabung dengan SI Surakarta dan hoofdbestuur menunjuk Tjokro sebagai komisaris dan mempercayakan pembuatan anggaran dasar baru kepada Tjokoroaminoto.
Sarekat Islam Surakarta berkembang dari Rekso Roemekso diawal 1912. Rekso Roemekso adalah perkumpulan ronda yang didirikan oleh saudagar batik Laweyan Samanhoedi bersama beberapa teman dan saudaranya. Perkumpulan ini didirikan dengan maksud untuk saling melindungi antar saudagar batik bumiputra dari pencuri kain batik yang meresahkan. Persaingan antara saudagar batik Tionghoa dengan saudagar batik bumiputra membuat konflik diantara masing-masing perkumpulan Rekso Romekso dan kong Sing.
Konflik yang berujung perkelahian yang sering terjadi membuat Rekso Romekso diselidiki status hukumnya oleh kepolisian Belanda. Pada masa itu setiap perkumpulan tanpa status hukum dapat dibubarkan dengan perintah residen berdasarkan undang-undang 1854 pasal III. Masalh hukum Rekso Roemekso membuat Djojomargoso, orang terdekat Samanhoedi meminta bantuan kepada Martodharsono. Martodharsono yang pernah menjabat redaktur Medan Prijaji meminta bantuan kepada Tirto Adhisoerjo untuk mengindari Rekso Romekso dalam masalah status hukum. Pada akhirnya Rekso Romekso diakui sebagai Sarekat Dagang Islam Cabang Bogor.
Dalam perjalanannya, perkumpulan ini lebih dikenal dengan nama Sarekat Islam. Karena walaupaun orang-orang Solo memberikan nama Sarekat Dagang Islam, namun organisasi ini lebih mengacu pada Rekso Roemekso sebagai perkumpulan ronda dan bukan perkumpulan dagang seperti SDI Bogor. SI kemudian berkembang dengan memiliki cabang-cabang diluar Solo, seperti di Yogyakarta, Kediri, madiun, dan Surabaya. Perkembangan inilah yang kemudian membuat Samanhoedi sebagai ketua umum ingin memperbaiki anggaran dasar SI.
Peran Tjokro didalam SI semakin lama semakin berkembang. Setelah mendapat tugas untuk merubah anggaran dasar SI dan menjadi komisaris, Tjokro kemudian berhasil menggeser Samanhoedi sebagai ketua Si dalam pertemuan di Yogyakarta 18 Februari 1914. Dalam kepemimpinan Tjokro, SI dibawa ke level nasional dengan merubah kembali anggaran dasarnya pada 26 Juli1915 dan tak sampai satu tahun pemerintah Belanda mengakui kepengurusan Central sarekat Islam yang dipimpin Tjokromainoto. SI kepemimpinan Tjokro merubah peregerakan SI yang sebelumnya sebagai organisasi dagang menjadi organisasi yang bergerak dibidang politik.
Tjokro dan murid-muridnya
Hubungan Tjokro dengan para murid-muridnya berawal dari istri Tjokro yang ingin membantu keuangan keluarga dengan membuka kos-kosan. Rumah Tjokro yang terletak di Gang Peneleh VII Surabaya, adalah bukti sejarah dimana para tokoh-tokoh pendiri bangsa lahir. Rumah yang terdiri dari dua ruang  yaitu rumah utama dan kamar kos yang berjumlah 10 kamar, ditempati oleh lima anggota keluarga Tjokro dan 20 anak yang indekos.
Anak-anak yang indekos dirumah Tjokro sebagian besar bersekolah di HBS (Hollandsche Burgerscholen) dan MULO. Beberapa anak yang indekos dirumah belakang Tjokro adalah Soekarno, Semaoen, Musso, Kartosoewirjo. Keempat murid inilah yang kemudian menjadi orang besar dan kemudian menjadi penentang Tjokroaminoto.
Soekarno menempati kamar kos tanpa jendela dan pengap. Dia adalah salah satu murid di HBS Surabaya. Sosok Tjokro menjadi begitu kharismatik bagi Soekarno karena Tjokro sangatlah berwibawa dan lantang dalam berpendapat. Gestur Tjokro dalam berpidato inilah yang kemudian ditiru oleh Soekarno.
Ketika indekos dirumah Tjokro, Soekarno biasa bertemu dengan tamu-tamu penting Tjokro dan mendengarkan diskusi Tjokro dengan para tamunya. Selain itu Soekarno juga melahap buku-buku karangan Engels, Karl Marx, Voltaire, Rousseau dikamarnya yang gelap dan sempit. Soekarno pernah menjadi menantu Tjokro dengan menikahi putri Tjokro yang benama Siti Oetari.
Semaoen bergabung dengan SI Surabaya pada 1914 disaat usianya baru 14 tahun. Semaoen yang sebelumnya adalah aktivis buruh kereta api banyak belajar kepada Tjokro karena sosoknya yang sosialis. Tjokro kemudain menjadi mentor Semaoen, sebelum pada akhirnya dia berlawanan denga Tjokro ketika memimpin SI Semarang.
Semaoen kemudian berkenalan dengan Sneevliet yang tak lain adalah tokoh pendiri ISDV (Indische Social-Democratic Vereeninging) sekaligus tamu Tjokro ketika bertamu di Surabaya. Semaoen terkesan dengan Sneevliet karena Sneevliet yang seorang Belanda namun bermental anti-kolonial. Bersama Sneevliet, Semaoen kemudian belajar tentang pergerakan dan bahasa Belanda.
Kartosoewirjo adalah salah satu murid Tjokro yang memiliki mazhab Islam Fundamental. Pertemuannya pertama kali dengan Tjokro adalah ketika pertemuan besar di Surakarta. Kartosoewirjo yang pernah didepak dari sekolah kedokteran setelah menyimpan buku-buku komunisme dan diberangus pergerakannya oleh Rinkes akhirnya menemui Tjokro yang dikenal dekat dengan Rinkes seorang pejabat Belanda seorang Gubernur Jendral Urusan Bumuputra. Kartosoewirjo cepat klop dengan Tjokro dan kembali aktif di politik lewat Partai Sarekat Islam dan menjabat sekertaris umum  pada Desember 1927.
Musso yang lahir di Desa Jagung Kecamatan Pagu, Kediri ini menempuh pendidikan di HBS Surabaya dan menjadi anak kos sekaligus murid Tjokro. Bersama Tjokro, Musso belajar  politik dan bertemu dengan tamu-tamu Tjokro yang kemudian menjadi tempat Musso mengasah diri. Bersama Sneevliet, Musso belajar  komunisme dan menjadi tokoh di ISDV yang kemudian berganti nama menjadi Perserikatan Komunis Indonesia.
Menurut Takhasi Shiraishi, Tjokro mengajarkan murid-muridnya politik dengan jalan melalui rapat-rapat umum, bebricara didepan massa dan memanfaatkan koran sebagai media pergerakan.
  • Disampaikan dalam diskusi PTK HMI Cabang Surakarta Komisariat Persiapan M. Iqbal tanggal 17 April 2013

1 komentar:




  1. SELAMAT DATANG
    █▀█║█▀█║║█║█▀█║║█║█▀█║█▀█║║█▀█║█▀█
    █▀▀║█▀█║║█║█▄█║║█║█▄█║█▀▀█║█▄█║█║█
    ▀║║║▀║▀║▀▀║▀║▀║▀▀║▀║▀║▀║║▀║▀║▀║▀║▀
    █▀█║█▀█║█║█║█▀█║█▀█
    █▄█║█║█║▀▀█║█▄█║█▀▀█
    ▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║║▀
    SELAMAT BERLOMBA MERAIH GELAR RATU ADIL
    ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀

    ZARO BANDUNG ZARO AGUNG MAJELIS AGUNG
    █▀█║█▀█║█▀█║║█▀█║
    █▀▀║█▀█║█▀▀█║█▄█║
    ▀║║║▀║▀║▀║║▀║▀║▀║
    █║█║█║█║█▀█║█▀█║█▀▀║█▀█║█▀█
    █▀█║▀▀█║█▀█║█║█║█║█║█▄█║█║█
    ▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║▀
    █▀█║█▀█║█║█║█▀█║█▀█║║║║▀▀█║█▀█║█║▀▀█
    █▀█║█║█║▀▀█║█▀█║█▀▀█║║║█▀▀║█║█║█║▀▀█
    ▀║▀║▀║▀║▀▀▀║▀║▀║▀║║▀║║║▀▀▀║▀▀▀║▀║▀▀▀
    MANDALAJATI NISKALA
    Sang Pembaharu Dunia Di Abad 21
    ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀
    Zaro Bandung Zaro Agung
    Majelis Agung Parahyangan Anyar
    adalah Top SDM Parahyangan,
    yang menyandang amanah dalam lingkup
    FILOSOFI IDEOLOGI SPIRITUAL SUNDA,
    yang memiliki otoritas melahirkan
    Khalifatulard "RATU ADIL" di Abad 21

    BalasHapus