Total Tayangan Halaman

Minggu, 28 April 2013

Tinjauan Kritis Pasal 4 ayat (2) dan (3) dan Pasal 5 Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT Berdasarkan Prinsip-Prinsip UUPA Oleh Arif Budi Prasetyo


Peraturan dibentuk untuk kemudian dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Menurut Gustav Radbruch, tujuan hukum memiliki tiga nilai dasar yang kesemuanya saling berurutan, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Keadilan sebagai nilai dasar harus memiliki manfaat yang dapat dipastikan dalam wujud  peraturan. Segala peraturan yang terbentuk semua mengacu pada konsep tujuan hukum tersebut.
Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang mengacu pada peraturan perundang-undangan diatasnya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dibentuk untuk memberikan pedoman bagi penyelesaian permasalahan tentang tanah-tanah ulayat.
Baik eksistensi dan penguasaan tanah ulayat dan penggunaan atas tanah masyarakat hukum adat. Peraturan Kepala BPN ini jelas harus mengacu pada prinsip-prinsip pokok agraria yang terkandung dalam UUPA. Kelima prinsip tersebut adalah :
1.                  Prinsip Nasionalitas
2.                  Prinsip Hak Menguasai Negara (HMN)
3.                  Prinsip Tanah Mengandung Fungsi Sosial
4.                  Prinsip Land Reform
5.                  Prinsip Perencanaan Agraria
Pasal 4 ayat (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat  yang mengatur tentang penglepasan atas tanah-tanah ulayat pun harus mengacu pada prinsip-prinsip UUPA. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain haruslah sesuai dengan kesepakatan pada masyarakat tanah adat yang bersangkutan. Disini peran pemerintah yang berwenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan tanah termasuk mengatur hak atas penggunaan tanah yang diperlukan. Berdasarkan prinsip Hak Menguasai Negara (HMN) menempatkan Negara bukan sebagai pemilik tanah namun sebagai  organisasi tertinggi bangsa Indonesia diberi kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan atas tanah, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa, serta mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Pelaksanaan HMN berada pada wewenang Presiden sebagai mandataris rakyat Indonesia yang dibantu oleh Menteri Agraria dengan jajaran aparatnya. Penyelenggraan HMN didaerah dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat yang masih kuat keyakinan dan norma-norma adatnya. HMN memposisikan Negara mempunyai kuasa penuh atas pemberian hak suatu hak kepada subjek hukum tanpa mengesampingkan hak-hak atas tanah yang telah dipunyai oleh subjek hukum.
Berdasarkan prinsip HMN, pasal 4 ayat (2) dan (3) ini pun telah mengacu pada prinsip-prinsip UUPA, dimana peran pemerintah dalam ayat (2) dan (3)  mengatur tentang pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu atas tanah-tanah ulayat  yang tentunya pemberian hak tersebut ditentukan juga dengan ketentuan yang diberikan oleh masyarakat hukum adat sebagai delegasi pelaksana HMN. Pasal 4 ayat (2) dan (3) ini juga mengacu pada prinsip Perencanaan Agraria, dimana dalam ayat (2) ditentukan penglepasan tanah ulayat digunakan untuk keperkuan pertanian dan keperluan lain. Prinsip Perencanaan Agraria mengharuskan Negara membuat tata guna agrarian dengan menyusun suatu perencanaan umum secara nasional khusunya mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam.
Namun terdapat sesuatu yang menarik didalam pasal 4 ayat (2) dan (3) ini. Negara dalam hal ini yang memiliki wewenang untuk memberikan hak penggunaan tanah, tidak dapat memberikan hak tersebut kepada subjek hukum lain yang bukan pemilik tanah jika masyarakat adat yang menguasai tanah ulayat tersebut tidak memberikan atau menyerahka penggunaan tanah ulayat kepada pihak lain. Masyarakat adat dengan segala ketentuan hukum adat atas tanah ulayat juga memiliki kekuasaan untuk mempunyai tanah ulayat. Perlu diingat bahwa Negara juga mengakui satuan-satuan  masyarakat adat dengan ketentuan adatnya. Hal ini yang kemudian mengacu pada prinsip pertama UUPA (prinsip nasionalitas) bahwa warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak atas tanah atas dasar hak milik, tidak terkecuali masyarakat adat.
Pasal 5 Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengatur tentang penentuan masih ada atau tidaknya hak ulayat. Pasal 5 ini berpedoman pada prinsip perencanaan agraria, dimana cita-cita sosialisme Inondesia yang mengaharuskan Negara membuat tata guna agrarian dengan menyusun perencanaan umum secara nasional yang mengatur tentang persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam. Prinsip perencanaan agrarian ini masih berhubungan dengan prinsip hak menguasai Negara (HMN), dimana penelitian yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat ini digunakan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah ulayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar