“Bubarkan
HMI!” itulah statmen yang keluar dari
seorang Nurcholis Madjid beberapa tahun lalu. Dalam Milad HMI ke-50 pada tahun
1997, Cak Nur juga mengatakan 50 Tahun HMI bukan
Ulang Tahun Emas, tapi “besi karatan”. Hal itu muncul karena ketika itu HMI
terlalu dekat dengan pemerintahan Orde Baru dan aliansi HMI dengan Kelompok
Cipayung juga retak. Hal yang memicu pernyataan sinis terhadap HMI oleh
berbagai kalangan ketika perayaan Milad HMI yang ke-50. Lalu bagaimanakah HMI sekarang?
HMI yang sudah akan menginjak usia 66 tahun (berdasarkan penanggalan masehi)
dan telah menginjak usia 68 tahun (berdasarkan penanggalan hijriyah). Jika
melihat penanggalan hijriyah, HMI berdiri pada tanggal 14 Rabiul Awal dan
peringatan 68 tahun HMI tersebut bertepatan dengan tanggal 26 Januari 2013
penanggalan masehi.
HMI
sebagai organisasi mahasiswa Islam merupakan organisasi yang berdiri pada tahun
1947 di Yogyakarta. Misi awal HMI ketika itu adalah mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia serta internalisasi
nilai-nilai keislaman. Cita-cita itu senada dengan kondisi bangsa Indonesia
pasca kemerdekaan. Seiring dengan waktu, misi HMI mengalami perubahan, membela
kaum mustadh’afin dan internalisasi
nilai-nilai keislaman. Hal ini selaras dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi
asas HMI. Seyogyanya HMI hadir untuk
memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat sebagaimana yang
termaktub dalam tujuan HMI ternyata berbanding terbalik dengan realitas kondisi
HMI hari ini. Krisis profesionalisme, intelektualisme, perkaderan serta spirit
perjuangan yang menjadi platform dasar pergerakan HMI, melanda keberlangsungan
HMI dalam membangun bangsa. Hal yang harus segera dipikirkan dan dibenahi oleh
seluruh elemen HMI.
Perubahan
sosial yang terus menerus terjadi adalah sebuah keniscayaan peradaban yang
tidak bisa ditolak. Zaman yang terus bermetamoforsis membuat tatanan sosial
ikut berubah. Globalisasi dan modernitas yang secara tidak sadar telah
menguliti dan menelanjangi kebudayaan bangsa dan mempengaruhi perkembangan umat
dan bangsa Indonesia. Hal ini berimplikasi langsung terhadap proses
perkembangan HMI sebagai organisasi pemuda dan kemahasiswaan. Fakta bahwa
semakin mengendurnya Islam sebagai pedoman dan asas organisasi dan pedoman
hidup bagi seluruh umat muslim akan berimplikasi buruk terhadap organisasi. Keterlibatan
HMI di tengah hiruk pikuk persoalan bangsa ini mengalami distorsi terhadap
khittah HMI sebagai organisasi perjuangan. Realitas hari ini HMI tenyata hanya
dipandang sebagai organisasi yang mampu melahirkan kader kader yang oppurtunis,
yakni kader yang hanya memikirkan diri sendiri. Kader yang tidak visioner
tentunya memberikan dampak buruk terhadap implementasi mission HMI. Independensi
yang menjadi sifat HMI seakan-akan malah menimbulkan pertanyaan perihal letak ke-independen-an
HMI. Tak terkecuali bagi HMI Cabang Surakarta. Krisis yang urung terseleasaikan
ini juga melanda HMI Cabang Surakarta. Profesionalisme dan keintelektulitasan
kader HMI Cabang Surakarta mengalami stagnasi yang tak kunjung bergerak menuju
perubahan.
Kondisi
yang cenderung sama dari tahun ke tahun membuat HMI Cabang Surakarta bisa
dikatakan sedang mengalami kemandegan. Keprofesionalitasan kader dalam
berorganisasi seakan jalan ditempat dan malah cenderung bergerak mundur.
Keintelektualitasan kader yang diharapkan menjadi pelopor dalam membawa
perubahan seakan enggan beranjak dari zona nyamanya. History HMI dimasa
kejayaan yang lalu akan selalu terbayang didalam benak kader HMI dan akan
menjadi beban jika kader HMI hari ini tidak dapat mempertahankan eksistensinya
bahkan malah terbuai oleh romantisme masa lalu. Lahirnya tokoh-tokoh dari rahim
HMI seharusnya menjadi contoh positif bagi kader HMI untuk terus berproses dan
berkembang seiring dengan spirit perjuangan HMI.
BANGUN HMI!
Evaluasi
merupakan suatu proses untuk mengetahui perkembangan atas rencana dan ide-ide
yang telah dilewati. Analisis kritis menjadi alat untuk bisa menelurkan wacana
dan ide baru. Perjalan HMI selama 68 tahun ini tak luput dari prosesi tersebut.
Perkembangan zaman menuntut keselarasan ide yang sejalan dan tanpa mengurangi
khittah HMI sebagai organisasi perjuangan. Sadar akan kewajiban, kesadaran, dan
panggilan dari seorang kader umat dan kader bangsa, sudah saatnya HMI bangun
dari buaian mimpi dan membangun ide-ide baru guna menjadi garda terdepan dan
pelopor bagi bangsanya.
Surakarta
yang menjadi basis pergerakan di awal abad 19 memiliki sejarah panjang atas
berdirinya Indonesia. Segala peristiwa penting sejarah yang terjadi menjadikan
Surakarta memiliki spirit perjuangan. Bagi saya, spirit inilah yang kemudian
harus dimiliki oleh HMI Cabang Surakarta dalam pergerakannya sebagai organisasi
mahasiswa. Perayaan 68 tahun HMI ini harus menjadi titik tolak bagi pergerakan
HMI Cabang Surakarta. Problem profesionalitas dan intelektulitas yang mandeg
harus rampung dengan analisis kritis yang menjadi solver solution dan menelurkan ide baru. Perubahan dan perkembangan
zaman yang membuai tidak boleh kemudian dijadikan kambing hitam atas problem
yang muncul. Lebih dari itu, zaman yang terus bergerak ini harus bisa dijadikan
sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi. Ketika zaman telah melakukan
metamorfosinya, maka kader HMI juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, metamorfosis
pemikiran dalam menelurkan ide dan wacana. Nilai-nilai Islam harus kembali
menjadi motor spirit perjuangan HMI. Ajaran-ajaran Nabi Muhammad tak hanya
dijadikan sebagai teladan, namun sebuah warisan yang harus selalu dijalankan
sebagai seorang muslim. Intelektualisme menjadi harga mati. Karena intelektulitas
itu yang membedakan kalangan mahasiswa dengan yang lainnya. Namun bukan berarti
hal itu menjadi jurang pemisah atau sekat antara kader HMI dengan masyarakat. Sebaliknya,
intelektualitas tersebut yang menjadikan kader HMI sebagai problem solver atas
masalah yang mendera bangsa.
Regenerasi kader adalah keniscayaan dalam organisasi. Kesadaran
kader kembali mesti dipicu untuk melanjutkan mission HMI. Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) merupakan konsepsi teoritis setiap kader untuk menjalani rutinitasnya
sebagai insan intelektual. Pemahaman yang utuh terhadap NDP sangat berpengaruh
secara praksis bagi tingkah laku kader HMI. Pemaknaan akan dasar perjuangan
tersebut memberikan konstribusi besar akan implementasi tujuan HMI ditengah
kompleksitas bangsa yang telah mempengaruhi paradigma mahasiswa dan masyarakat.
Karakter kader HMI yang kritis dan intelek merupakan ekspektasi dari orientasi
training dan harus menjadi cerminan bagi setiap mahasiswa yang mengaharapkan
perubahan secara totalitas terhadap karakter berpikir. Organisasi perkaderan
idealnya akan mengahasilkan kader-kader yang intelek dan kritis sehinggan
mission organisasi akan terealisasikan.
Sudah
menjadi sebuah tradisi jika hari berdirinya sebuah lembaga atau hari lahirnya
sebuah organisasi dirayakan oleh massa organisasi tersebut. Seyogyanya perayaan
hari lahirnya organisasi tidak hanya sekedar untuk dirayakan begitu saja dan
menjadi sebuah ritual tahunan. Namun lebih dari itu, perayaan ini harus bisa
dijadikan sebuah momentum bagi HMI dalam mengoreksi dan merenungkan kembali
perjalanan dimasa lalu dan menyongsong masa depan untuk dapat mewujudkan tujuan
HMI, “Terbinanya insan akademis,
pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala”.
YAKUSA!
*Diterbitkan oleh Harian JOGLOSEMAR tanggal 5 Februari 2013
*Diterbitkan oleh Harian JOGLOSEMAR tanggal 5 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar