Total Tayangan Halaman

Senin, 28 Januari 2013

Wajah Baru Neofasisme


Pernah mendengar kata fasis? Kata ini sangtalah populer pada masa Perang Dunia I. Pelopornya adalah Ketua Partai Nasionalis Sosialis Buruh Jerman (National-Sozialistische Deutsche Arbiterpartei) atau lebih familiar dengan nama NAZI, Adolf Hitler. Dia adalah pendiri partai dan kemudian menjadi pemimpin Jerman di masa itu dan menggunakan paham fasisme sebagai ideologi mereka. Sejarah mengatakan, bahwa fasisme ini berkembang karena ketidaksukaan Hitler dengan bangsa Yahudi. Hitler sangat membenci bangsa Yahudi yang baginya telah merampas segala yang dimiliki oleh bangsanya, oleh ras nya yaitu Ras Arya.

Perjalanan Hitler dalam mendirikan Partai NAZI ini bermula ketika Jerman kalah dalam perang. Dia marah karena pemimpin militer menyerah begitu saja dengan pihak sekutu. Dengan berbagai argumennya dia kemudian menyalahkan bangsa Yahudi yang telah merampas kemakmuran dan mengendalikan perekonomian di Jerman. Dukungan massa dia peroleh lewat pidato-pidatonya yang menggelora. Dengan membakar semangat audiens dan tak luput pula membanggakan rasnya dan mencaci ras Yahudi. Sokongan dana dan massa yang terus berkembang membuat Hitler semakin gencar mencari dukungan. Hingga dia dipenjara atas percobaan kudeta pemerintahan sah Jerman. Namun dipenjara dia tidak hanya diam. Ditemani oleh asistenya Hess dia membuat biografi atas dirinya berjudul Mein Kampf (Perjuanganku).
Perang Dunia II telah meruntuhkan Jerman, Hitler, dan fasisnya. Namun bagaimana dengan zaman sekarang? Apakah fasis masih hidup di era sekarang? Banyak orang yang secara tidak sadar telah menjadi fasis tanpa tahu apa yang dilakukannya adalah fasis. Namun bagaimana kemudian jika fasis ini berkembang dan menjadi neofasis? Dan bagi saya neofasis ini memang telah muncul.
Paham ini muncul dengan muka baru. Sekarang bukanlah Ras Arya yang menjadi unggulan dan bukan Yahudi yang menjadi tindasan. Namun fanatisme akan suatu paham, suatu ideologi, bahkan agama sekalipun telah menjadi fasis-fasis yang baru ketika mereka meniadakan paham lain dan menganggap paham mereka adalah paham yang paling sempurna. Bukankah ini kemudian menjadi neofasis ketika mereka berbuat demikian? Satu etnis sangat membanggakan etnisnya dan menganggap etnis lain adalah etnis yang buruk. Satu kelompok menganggap kelompoknya lah yang paling kuat, paling benar dan menganggap kelompok lain hanyalah sampah. Bahkan (mohon maaf) agama pun sekarang menjadi alat penyebaran fasis ketika mereka menganggap agama lain adalah agama kafir dan agamanyalah yang paling benar. Bukankah fasis ini akan menjadi perpecahan bagi bangsa kita, bangsa Indonesia yang beragam ini?
Pluralisme akhirnya menjadi tameng yang kuat. Selain mementahkan paham fasis, pluralisme juga menguatkan negara kita yang beraneka ragam ini. Toleransi antar sesama menjadi pondasi yang kokoh untuk menguatkan bangsa. Menajdi alat yang dapat menyatukan dari Sabang hingga Merauke. Dan perlu diingat, fasis tidak akan pernah subur hidup di bumi Indonesia. Mengutip lirik dari Homicide sebagai akhir dari tulisan ini, Fasis Yang Baik Adalah Fasis Yang Mati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar