Ernest Gunawan, pemuda
kelahiran Jawa Timur ini sudah 5 tahun menghabiskan penghidupannya sebagai
seorang mahasiswa. Berkuliah di jurusan ilmu hukum di Universitas Curugsawit
tak membuatnya menjadi paham hal-hal hukum. Dia malah terlalu sering berdialog
dengan pikirannya sendiri dan bertanya “mengapa
dia harus berkuliah hukum?”.
Melihat teman-temannya yang telah lulus pun
malah semakin membuat dia tak paham untuk apa anak manusia berkuliah jika toh
mereka setelah lulus pun hanya menutup lubang-lubang kosong dari mesin-mesin
penguasa modal.
Ernest Gunawan yang sering
dipanggil Nest ini memang bukan tergolong mahasiswa berprestasi. IPK nya pun
pas-pasan dan akan menjadi nabi jika dia dianugerahi mukjizat IPK 3.00 dalam
hidupnya. Nest juga tidak cerdas dalam hal melakukan penelitian atau berpikir
secara sistematis. Nest hanya berpikir karena dia terbiasa untuk berpikir dan
berpikir karena dia melihat sesuatu dan sesuatu itu membuat dia menjadi
berpikir. Tidak pernah pikirannya disusun dalam sebuah susunan irama bak sebuah
alunan lagu yang akan menuju klimaksnya. Pikiranya bebas sejak dia lahir dan
menghirup udara didalam kamar. Iya, memang didalam kamarlah ibu Nest melahirkan
Nest dengan bantuan bidan.
Tahun kelima Nest berkuliah
hampir usai. Namun tak kunjung Nest rampungkan penelitian terakhirnya untuk
memperoleh gelar sarjana. Selain alasan biaya penelitian yang tak ia punyai Nest
juga masih ingin menikmati masa-masa menjadi mahasiswa yang katanya (masih)
bebas. Bebas dalam berpikir. Pangkat sebagai seorang mahasiswa sebenarnya punya
kadaluarsa. Jika menurut aturan dari kampus, pangkat tersebut habis berlakunya
setelah si empunya pangkat lulus kuliah atau telah 7 tahun berkuliah.
Selebihnya jika dia tak bias lulus dalam jangka waktu 7 tahun tersebut, maka
dia harus lengser dari pangkatnya sebagai mahasiswa dengan disertai surat Drop Out! Didalam kehidupan sosial bermasyarakat dikenal dengan
istilah strata. Pembgian kelas masyarakat yang merupakan turunan dari ajaran
Hindhu. Bagi orang tua yang anaknya telah lulus SMA dan melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi dan menjadi mahasiswa, tentu menjadi sebuah
kebanggaan. Namun jangan salah, dalam tatanan sosial masyarakat ini pun strata
sebagai mahasiswa juga punya kadaluarsa. Jika sang empunya strata dalam 4 tahun
dia berkuliah normal tidak segera mendapat gelar sarjana, maka pergunjinganlah
yang akan dia dapatkan. Pergunjingan ini yang akan mempengaruhi mental si
empunya strata. Tapi menjadi lucu pula ketika pergunjingan ini menjadi
pergunjingan bersambung. Si mahasiswa yang telah lulus dan mendapat gelar
sarjana ini akan mendapat pergunjingan bersambung jika dia tak kunjung mendapat
pekerjaan. Dan akhirnya untuk yang kedua kalinya mental pun teradili. Memang
menjadi serba salah jika hidup dalam jaman materialisme. Hidup dinilai dari
“nilai” (angka) itu sendiri. Hidup dinilai dari simbol yang melekat. Dinilai
berdasarkan kehidupan duniawi.
Bagi Nest, hukum memiliki
peranan yang teramat sangat penting dalam kehidupan sosial. Semua-semua dalam
tatanan kehidupan didunia ini terikat oleh berbagai macam aturan. Tidak ada
satu celah pun dalam kehidupan didunia ini yang tanpa aturan. Bahkan rimba pun
punya aturan sendiri. Politik hukum memegang kendali atas semua faktor. Jika
manusia saat ini berbicara masalah ekonomi merupakan masalah yang sangat
penting dalam kehidupan, maka mereka harus melihat lebih dari itu. Aturan sang
penguasa yang mengikat kehidupan kita lah yang sebenarnya memegang peran
tersebut. Ekonomi pun telah terikat oleh aturan-aturan. Orang tak akan pernah
hidup dalam kekurangan jika tidak ada aturan membayar pajak pada penguasa.
Pajak… hanya istilahnya saja yang diganti. Di jaman kerajaan dulu namanya
upeti. Tetap pula dibayarkan oleh rakyat dengan dalih untuk kemakmuran bersama.
Bukankah nenek moyang kita dulu tidak mengenal pajak. Bukankah mereka dahulu
hidup serba berkecukupan dengan hanya menikmati hasil alam. Tapi kenapa
sekarang rimba pun berpindah pada pula dari hutan pohon ke hutan gedung?
Korupsi merupakan kata-kata yang
familiar di telinga para siswa hukum.
Siswa, memang nama itu yang pantas mereka sandang. Tak pantas mereka dapat
gelar mahasiswa kalau toh dia tak tahu jadi mahasiswa. Mahasiswa itu
intelektual yang siap berontak jika terjadi ketidakadilan. Bicara soal keadilan
Cuma jadi kata-kata penghias saja bagi siswa-siswa ini. Dosen punya aturan,
jika terlambat 15 menit, mahasiswa dilarang mengikuti perkuliahan. Sekarang,
harusnya aturan itu pula yang harus dipakai oleh sang pembikin aturan ketika
dia terlambat pula. Ini tidak. Para siswa
seraya bersepakat atas pembodohan yang mereka sendiri ikut mengamininya. Dosen
terlambat lebih dari 15 menit pun ditungguinya sampai datang. Dosen bukan dewa,
bukan makhluk yang sepantasnya untuk dipuja, kecuali jika kalian termasuk dalam
golongan-golongan manusia lidah yang suka menjilat.
Kembali lagi soal korupsi.
Hukum tidak pernah henti-hentinya bicara soal korupsi, membahas korupsi dalam
seminar-seminar ataupun diskusi-diskusi kecil yang mereka bersepakat itu
(korupsi) telah menjadi sebuah budaya yang hidup dalam masyarakat. Tidak pernah
kah terlintas dalam pikiran kita soal aturan dan sanksi yang dimuat dalam
undang-undang korupsi? Mereka yang membuat aturan itu adalah mereka juga yang
menjalankan kegiatan keji itu. Memang keji, pajak yang terkumpul dari rakyat,
yang tersuling dari keringat-keringat yang bekerja digunakan tidak sebagaimana
mestinya untuk kemakmuran bersama. Aturan dan sanksi yang begitu kecil tak
sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh masyarakat kita, oleh rakyat
kita. Seharusnya mereka (rakyat) dapat menikmati fasilitas kesehatan secara
gratis, pendidikan gratis. Sudah lupakah kita dengan cita-cita bangsa yang
tertulis rapi nan indah di pembukaan undang-undang dasar? Atau memang sekarang
teks pembukaan tersebut sama halnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar yang hanya
indah?
Pemudanya seraya mendukung
kelakuan sang tua-tua. Mereka bersekolah, berpendidikan, tapi tak tahu guna
mereka bersekolah. Tahunya hanya agar mudah mencari kerja. Pikiran macam apa
yang demikian itu? Jika memang itu yang mereka pikirkan, tak layak mereka
dapatkan subsidi pendidikan dari pajak-pajak yang terkumpul dari tukang bakso,
tukang siomay, pedagang asongan, tukang sapu. Harusnya mereka membayar penuh
uang sekolah tanpa subsidi. Barulah boleh mereka punya pikiran demikian. Apa
yang telah kita lakukan untuk masyarakat kita? Untuk bangsa kita? Tidakkah
sadar biaya pendidikan murah kalian berasal dari kantong-kantong yang segan
untuk membayar karena miskinnya. Apa mata kita telah tertutup oleh
tembok-tembok tinggi nan megah pembatas kampus? Robohkan saja tembok itu bila
perlu. Lihat dibalik tembok itu, ada kehidupan yang menantikan hak-hak mereka
disentuh kaum intelektual. Intelektual murni intelektual, bukan intelektual
pasar.
Orang-orang terdahulu memandang
sekolah adalah upaya dari dia untuk bisa membebaskan bangsanya dari belenggu
kolonial. Mereka bersekolah, menimba ilmu hanya untuk cita-cita pemebebasan
bangsa. Tidak sedikit upaya dan jirih payah mereka untuk bisa bersekolah. Sampai-sampai
mereka harus bolak-balik masuk jeruji besi karena protes mereka yang keras
melawan pemerintahan kolonial. Dibuang kesana kemari bahkan sampai diasingkan
ke hutan belantara yang tak mempunyai peradaban. Sekarang makin mudah manusia
mengakses pendidikan, bersekolah, menimba ilmu, akan tetapi luput dalam tujuan
berpendidikan. Bukan pembebasan bangsa, penyelamatan diri dari belenggu sistem
kapitalisme.
Jean Marais
Tidak ada komentar:
Posting Komentar