Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Desember 2012

Nest Tak Tahu Guna Kuliah



Ernest Gunawan, pemuda kelahiran Jawa Timur ini sudah 5 tahun menghabiskan penghidupannya sebagai seorang mahasiswa. Berkuliah di jurusan ilmu hukum di Universitas Curugsawit tak membuatnya menjadi paham hal-hal hukum. Dia malah terlalu sering berdialog dengan pikirannya sendiri dan bertanya “mengapa dia harus berkuliah hukum?”.
Melihat teman-temannya yang telah lulus pun malah semakin membuat dia tak paham untuk apa anak manusia berkuliah jika toh mereka setelah lulus pun hanya menutup lubang-lubang kosong dari mesin-mesin penguasa modal.
Ernest Gunawan yang sering dipanggil Nest ini memang bukan tergolong mahasiswa berprestasi. IPK nya pun pas-pasan dan akan menjadi nabi jika dia dianugerahi mukjizat IPK 3.00 dalam hidupnya. Nest juga tidak cerdas dalam hal melakukan penelitian atau berpikir secara sistematis. Nest hanya berpikir karena dia terbiasa untuk berpikir dan berpikir karena dia melihat sesuatu dan sesuatu itu membuat dia menjadi berpikir. Tidak pernah pikirannya disusun dalam sebuah susunan irama bak sebuah alunan lagu yang akan menuju klimaksnya. Pikiranya bebas sejak dia lahir dan menghirup udara didalam kamar. Iya, memang didalam kamarlah ibu Nest melahirkan Nest dengan bantuan bidan.
Tahun kelima Nest berkuliah hampir usai. Namun tak kunjung Nest rampungkan penelitian terakhirnya untuk memperoleh gelar sarjana. Selain alasan biaya penelitian yang tak ia punyai Nest juga masih ingin menikmati masa-masa menjadi mahasiswa yang katanya (masih) bebas. Bebas dalam berpikir. Pangkat sebagai seorang mahasiswa sebenarnya punya kadaluarsa. Jika menurut aturan dari kampus, pangkat tersebut habis berlakunya setelah si empunya pangkat lulus kuliah atau telah 7 tahun berkuliah. Selebihnya jika dia tak bias lulus dalam jangka waktu 7 tahun tersebut, maka dia harus lengser dari pangkatnya sebagai mahasiswa dengan disertai surat Drop Out! Didalam kehidupan sosial bermasyarakat dikenal dengan istilah strata. Pembgian kelas masyarakat yang merupakan turunan dari ajaran Hindhu. Bagi orang tua yang anaknya telah lulus SMA dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan menjadi mahasiswa, tentu menjadi sebuah kebanggaan. Namun jangan salah, dalam tatanan sosial masyarakat ini pun strata sebagai mahasiswa juga punya kadaluarsa. Jika sang empunya strata dalam 4 tahun dia berkuliah normal tidak segera mendapat gelar sarjana, maka pergunjinganlah yang akan dia dapatkan. Pergunjingan ini yang akan mempengaruhi mental si empunya strata. Tapi menjadi lucu pula ketika pergunjingan ini menjadi pergunjingan bersambung. Si mahasiswa yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana ini akan mendapat pergunjingan bersambung jika dia tak kunjung mendapat pekerjaan. Dan akhirnya untuk yang kedua kalinya mental pun teradili. Memang menjadi serba salah jika hidup dalam jaman materialisme. Hidup dinilai dari “nilai” (angka) itu sendiri. Hidup dinilai dari simbol yang melekat. Dinilai berdasarkan kehidupan duniawi.
Bagi Nest, hukum memiliki peranan yang teramat sangat penting dalam kehidupan sosial. Semua-semua dalam tatanan kehidupan didunia ini terikat oleh berbagai macam aturan. Tidak ada satu celah pun dalam kehidupan didunia ini yang tanpa aturan. Bahkan rimba pun punya aturan sendiri. Politik hukum memegang kendali atas semua faktor. Jika manusia saat ini berbicara masalah ekonomi merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan, maka mereka harus melihat lebih dari itu. Aturan sang penguasa yang mengikat kehidupan kita lah yang sebenarnya memegang peran tersebut. Ekonomi pun telah terikat oleh aturan-aturan. Orang tak akan pernah hidup dalam kekurangan jika tidak ada aturan membayar pajak pada penguasa. Pajak… hanya istilahnya saja yang diganti. Di jaman kerajaan dulu namanya upeti. Tetap pula dibayarkan oleh rakyat dengan dalih untuk kemakmuran bersama. Bukankah nenek moyang kita dulu tidak mengenal pajak. Bukankah mereka dahulu hidup serba berkecukupan dengan hanya menikmati hasil alam. Tapi kenapa sekarang rimba pun berpindah pada pula dari hutan pohon ke hutan gedung?
Korupsi merupakan kata-kata yang familiar di telinga para siswa hukum. Siswa, memang nama itu yang pantas mereka sandang. Tak pantas mereka dapat gelar mahasiswa kalau toh dia tak tahu jadi mahasiswa. Mahasiswa itu intelektual yang siap berontak jika terjadi ketidakadilan. Bicara soal keadilan Cuma jadi kata-kata penghias saja bagi siswa-siswa ini. Dosen punya aturan, jika terlambat 15 menit, mahasiswa dilarang mengikuti perkuliahan. Sekarang, harusnya aturan itu pula yang harus dipakai oleh sang pembikin aturan ketika dia terlambat pula. Ini tidak. Para siswa seraya bersepakat atas pembodohan yang mereka sendiri ikut mengamininya. Dosen terlambat lebih dari 15 menit pun ditungguinya sampai datang. Dosen bukan dewa, bukan makhluk yang sepantasnya untuk dipuja, kecuali jika kalian termasuk dalam golongan-golongan manusia lidah yang suka menjilat.
Kembali lagi soal korupsi. Hukum tidak pernah henti-hentinya bicara soal korupsi, membahas korupsi dalam seminar-seminar ataupun diskusi-diskusi kecil yang mereka bersepakat itu (korupsi) telah menjadi sebuah budaya yang hidup dalam masyarakat. Tidak pernah kah terlintas dalam pikiran kita soal aturan dan sanksi yang dimuat dalam undang-undang korupsi? Mereka yang membuat aturan itu adalah mereka juga yang menjalankan kegiatan keji itu. Memang keji, pajak yang terkumpul dari rakyat, yang tersuling dari keringat-keringat yang bekerja digunakan tidak sebagaimana mestinya untuk kemakmuran bersama. Aturan dan sanksi yang begitu kecil tak sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh masyarakat kita, oleh rakyat kita. Seharusnya mereka (rakyat) dapat menikmati fasilitas kesehatan secara gratis, pendidikan gratis. Sudah lupakah kita dengan cita-cita bangsa yang tertulis rapi nan indah di pembukaan undang-undang dasar? Atau memang sekarang teks pembukaan tersebut sama halnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar yang hanya indah?
Pemudanya seraya mendukung kelakuan sang tua-tua. Mereka bersekolah, berpendidikan, tapi tak tahu guna mereka bersekolah. Tahunya hanya agar mudah mencari kerja. Pikiran macam apa yang demikian itu? Jika memang itu yang mereka pikirkan, tak layak mereka dapatkan subsidi pendidikan dari pajak-pajak yang terkumpul dari tukang bakso, tukang siomay, pedagang asongan, tukang sapu. Harusnya mereka membayar penuh uang sekolah tanpa subsidi. Barulah boleh mereka punya pikiran demikian. Apa yang telah kita lakukan untuk masyarakat kita? Untuk bangsa kita? Tidakkah sadar biaya pendidikan murah kalian berasal dari kantong-kantong yang segan untuk membayar karena miskinnya. Apa mata kita telah tertutup oleh tembok-tembok tinggi nan megah pembatas kampus? Robohkan saja tembok itu bila perlu. Lihat dibalik tembok itu, ada kehidupan yang menantikan hak-hak mereka disentuh kaum intelektual. Intelektual murni intelektual, bukan intelektual pasar.
Orang-orang terdahulu memandang sekolah adalah upaya dari dia untuk bisa membebaskan bangsanya dari belenggu kolonial. Mereka bersekolah, menimba ilmu hanya untuk cita-cita pemebebasan bangsa. Tidak sedikit upaya dan jirih payah mereka untuk bisa bersekolah. Sampai-sampai mereka harus bolak-balik masuk jeruji besi karena protes mereka yang keras melawan pemerintahan kolonial. Dibuang kesana kemari bahkan sampai diasingkan ke hutan belantara yang tak mempunyai peradaban. Sekarang makin mudah manusia mengakses pendidikan, bersekolah, menimba ilmu, akan tetapi luput dalam tujuan berpendidikan. Bukan pembebasan bangsa, penyelamatan diri dari belenggu sistem kapitalisme.

Jean Marais

Tidak ada komentar:

Posting Komentar