Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota atau yang disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) akan mulai diselenggarakan pada tahun 2015. Berbeda dengan pemilihan
pada tahun-tahun sebelumnya, pemilihan pada tahun ini akan diselenggarakan
secara serentak. Hal ini mengacu pada Pasal 201 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Dalam rezim Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini, penyelenggaran pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota akan dilaksanakan serentak yang dibagi dalam 3 tahap yaitu serentak pada tahun 2015,
serentak pada tahun 2018, dan serentak menyeluruh pada tahun 2020. Pada tahun
2015 ini, pilkada akan dilaksanakan di 8 provinsi dan 204 kabupaten/kota di
Seluruh Indonesia (data Kemendagri).
Pembahasan
mengenai pengesahan Perppu Pilkada menjadi Undang-Undang Pilkada menjadi nafas
segar dalam memulai proses tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah. Tahapan-tahapan
yang harus dijalankan oleh penyelenggara dan peserta bukan tidak mungkin akan menemui
beberapa kendala. Baik itu berupa kesiapan regulasi yang disusun oleh
penyelenggara, maupun syarat-syarat adminsitrasi yang harus dilengkapi oleh
peserta. Regulasi yang disusun oleh penyelenggara harus mampu mengcover setiap
kebutuhan dalam menyelesaikan tahapan pilkada. Namun seringkali, regulasi yang
telah disusun sedemikian rupa masih menemui celah yang barangkali saja
dapat dimanfaatkan oleh peserta untuk menabrak
aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara. Potensi-potensi
pelanggaran yang muncul ini akan dapat merugikan peserta yang lain, yang dalam
hal ini adalah kompetitor.
POTENSI
KONFLIK
Potensi
pelanggaran yang barangkali muncul dalam tahapan penyelenggaraan pilkada bukan
tidak mungkin akan meninmbulkan konflik. Dalam wacana demokrasi, konflik selalu
hadir akibat dari gejala responsif atas upaya kontrol dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Konflik dalam proses pilkada ini dibagi dalam 2 kategori. Pertama adalah konflik vertikal, dimana
konflik ini terjadi antara peserta dengan penyelenggara pilkada (KPU dan
pengawas pemilu). Kedua adalah
konflik horizontal. Konflik horizontal yang dimaksud dalam hal ini adalah
konflik antar peserta pilkada. Konflik antar peserta pilkada ini tidak hanya
konflik yang terjadi antara pasangan calon “A” dengan pasangan calon “B”.
Konflik ini juga secara tidak langsung akan melibatkan pendukung pasangan calon
masing-masing, dimana masing-masing pasangan calon memiliki basis masa pendukung
yang hari ini sebagian besar muncul dari socially
bounded Individu (basis sosial). Terpolarisasinya masyarakat akibat dari
fanatisme terhadap salah satu pasangan calon dan/atau adanya kepentingan
dibalik dukungan, didalam proses demokrasi di Indoensia, khususnya dalam
pemilihan kepala daerah, semakin membuat konflik horizontal yang muncul
diantara pendukung calon semakin kuat. Para pendukung akan berusaha sedemikian
rupa, agar calon yang dijagokannya dapat duduk dikursi nomor 1 didaerahnya.
Konflik
ini, jika tidak ditangani dengan baik, ditakutkan akan muncul
intimidasi-intimidasi oleh kelompok pasangan calon mayoritas terhadap terhadap
kelompok pasangan calon minoritas. Didasarkan atas basis masa yang lebih besar,
kelompok-kelompok mayoritas ini akan menggunakan cara-cara, yang barangkali
akan menabrak regulasi yang ada, untuk meloloskan calon kepala daerah yang
diusungnya. Potensi pelanggaran atas peraturan yang berlaku haruslah ditindak
agar proses pemilihan kepala daerah berlangsung secara langsung, bebas, jujur,
dan adil.
Pada
umumnya, setiap pelanggaran yang muncul akibat tidak taatnya calon kepala
daerah dalam melaksanakan ketentuan yang ada, akan langsung diberikan
peringatan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah. Namun mekanisme lain
dalam upaya mengontrol proses berjalannya pemilihan kepala daerah ini
terkendala oleh SDM penyelenggara yang terbatas. Hal ini menuntut masyarakat
pro aktif dalam mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah dimasing-masing
wilayah.
MINIMNYA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN PELAPOR
Mekanisme
pelaporan jika terjadi pelanggaran adalah salah satu cara bagi pengawas pemilu
dalam memberikan stimulan kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam
mengawasi proses pemilihan kepala daerah. Sistem demokrasi yang memiliki desain
“pemerintahan dari rakyat untuk rakyat”,
telah memberikan kuasa penuh kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang
dipercaya menjalankan roda pemerintahan. Keikutsertaan masyarakat dalam
mengawasi pemilihan kepala daerah ini menjadi modal utama dalam menjalankan
sistem demokrasi itu sendiri.
Namun,
mekanisme pelaporan yang tersedia saat ini masih minim digunakan oleh
masyarakat dalam upaya ikut mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah. Hal ini
dikarenakan efek yang muncul ketika seseorang tersebut melaporkan dugaan pelanggaran
ke pengawas pemilu. Seperti yang sudah saya paparkan diatas, adanya intimidasi
dari kelompok pendukung mayoritas, menyebabkan masyarakat enggan untuk
melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Bahkan intimidasi lain yang
muncul juga berasal dari penguasa itu sendiri. Ketika calon kepala daerah
tersebut adalah seorang incumbent,
maka terdapat kemungkinan dia menggunakan pengaruhnya dalam pemerintahan untuk
melakukan intimidasi struktural agar dirinya kembali terpilih sebagai kepala
daerah. Intimidasi struktural ini bukan menjadi rahasia lagi dalam proses
pemilihan kepala daerah. Namun juga tidak dibenarkan intimidasi struktural ini
menjadi sebuah budaya ketika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
berlangsung.
Perlindungan
bagi pelapor dan saksi dalam proses pengawasan pemilihan kepala daerah ini
dipandang perlu demi tercapainya masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang
sadar akan perannya yang begitu besar dalam melanggengkan sistem demokrasi yang
dianut oleh Negara Indonesia. Akan tetapi, belum adannya regulasi khusus yang
mengatur tentang perlindungan saksi dan pelapor
pemilihan kepala daerah menjadi hambatan tersendiri. Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban yang ada saat ini tidak mampu mengcover
masyarakat dari resiko “dilaporkan balik” oleh terlapor. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pun hanya mencover
perlindungan bagi pelanggaran tindak pidana. Padahal, jika kita mengacu pada
peraturan mengenai pemilihan kepala daerah, jenis-jenis pelanggaran yang
terdapat tidak hanya pelanggaran pidana saja, melainkan terdapat juga
pelanggaran administrasi dan kode etik, dimana kedua pelanggaran ini juga
memiliki resiko yang sama. Lalu bagaimana pengawas pemilu dapat melindungi
pelapor dan saksi dari resiko “dilaporkan balik”?
Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jelas
tidak mengcover perlindungan bagi pelanggaran diluar tindak pidana. Selain
daripada itu perlindungan khusus atas laporan tindak pidana juga hanya melindungi
pelapor dan saksi tindak pidana khusus yang dalam hal ini adalah Tindak Pidana
Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kategori pelanggaran yang terdapat
dalam pelanggaran peimilihan kepala daerah tidak dapat dicover dalam
undang-undang ini. Mereka hanya dapat dilindungi oleh KUHP, dimana jika mereka
mendapat ancaman, dapat melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian. Namun
payung hukum KUHP ini dirasa kurang cukup dalam upaya masyarakat menegakkan
keadilan dalam pemilihan kepala daerah. Resiko “dilaporkan balik” atau bahkan
resiko intimidasi sosial (yang berasal dari komunitas masyarakat) serta
intimidasi struktural (yang berasal dari kekuasaan) masih menghantui
masyarakat. Jika berkenan, pemerintah dapat mengajukan RUU terkait perlindungan
saksi dan korban secara menyeluruh untuk segala jenis pelanggaran beserta
pengaturan hak-hak perlindungan yang akan diperoleh saksi dan korban. Namun
jika sebaliknya, maka menjadi utopis
demokrasi yang bermuara pada kedaulatan rakyat akan terwujud.
Tercerahkan.... berarti harus revisi dulu yak... kalau seseorang melapor kepada panwas pelanggaran administrasi dan/atau kode etik dengan kondisi 3+2 hari yg dimiliki oleh panwas untuk melakukan penanganan, kecuali pelanggaran terang benderang maka besar kemungkinan akan dilapor balik oleh terlapor. Yang tidak mengenakan bagi si pelapor adalah, dilaporkan tindak pidana pencemaran nama baik padahal si pelapor hanya melaporkan administrasi atau kode etik
BalasHapus