Total Tayangan Halaman

Rabu, 21 Januari 2015

Minimnya Perlindungan Bagi Saksi dan Pelapor Pelanggaran Pilkada

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau yang disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan mulai diselenggarakan pada tahun 2015. Berbeda dengan pemilihan pada tahun-tahun sebelumnya, pemilihan pada tahun ini akan diselenggarakan secara serentak. Hal ini mengacu pada Pasal 201 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam rezim Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini, penyelenggaran pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota akan dilaksanakan serentak yang dibagi  dalam 3 tahap yaitu serentak pada tahun 2015, serentak pada tahun 2018, dan serentak menyeluruh pada tahun 2020. Pada tahun 2015 ini, pilkada akan dilaksanakan di 8 provinsi dan 204 kabupaten/kota di Seluruh Indonesia (data Kemendagri).
Pembahasan mengenai pengesahan Perppu Pilkada menjadi Undang-Undang Pilkada menjadi nafas segar dalam memulai proses tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah. Tahapan-tahapan yang harus dijalankan oleh penyelenggara dan peserta bukan tidak mungkin akan menemui beberapa kendala. Baik itu berupa kesiapan regulasi yang disusun oleh penyelenggara, maupun syarat-syarat adminsitrasi yang harus dilengkapi oleh peserta. Regulasi yang disusun oleh penyelenggara harus mampu mengcover setiap kebutuhan dalam menyelesaikan tahapan pilkada. Namun seringkali, regulasi yang telah disusun sedemikian rupa masih menemui celah yang barangkali saja
dapat dimanfaatkan oleh peserta untuk menabrak aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara. Potensi-potensi pelanggaran yang muncul ini akan dapat merugikan peserta yang lain, yang dalam hal ini adalah kompetitor.

POTENSI KONFLIK

Potensi pelanggaran yang barangkali muncul dalam tahapan penyelenggaraan pilkada bukan tidak mungkin akan meninmbulkan konflik. Dalam wacana demokrasi, konflik selalu hadir akibat dari gejala responsif atas upaya kontrol dari pihak-pihak yang berkepentingan. Konflik dalam proses pilkada ini dibagi dalam 2 kategori. Pertama adalah konflik vertikal, dimana konflik ini terjadi antara peserta dengan penyelenggara pilkada (KPU dan pengawas pemilu). Kedua adalah konflik horizontal. Konflik horizontal yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik antar peserta pilkada. Konflik antar peserta pilkada ini tidak hanya konflik yang terjadi antara pasangan calon “A” dengan pasangan calon “B”. Konflik ini juga secara tidak langsung akan melibatkan pendukung pasangan calon masing-masing, dimana masing-masing pasangan calon memiliki basis masa pendukung yang hari ini sebagian besar muncul dari socially bounded Individu (basis sosial). Terpolarisasinya masyarakat akibat dari fanatisme terhadap salah satu pasangan calon dan/atau adanya kepentingan dibalik dukungan, didalam proses demokrasi di Indoensia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah, semakin membuat konflik horizontal yang muncul diantara pendukung calon semakin kuat. Para pendukung akan berusaha sedemikian rupa, agar calon yang dijagokannya dapat duduk dikursi nomor 1 didaerahnya.
Konflik ini, jika tidak ditangani dengan baik, ditakutkan akan muncul intimidasi-intimidasi oleh kelompok pasangan calon mayoritas terhadap terhadap kelompok pasangan calon minoritas. Didasarkan atas basis masa yang lebih besar, kelompok-kelompok mayoritas ini akan menggunakan cara-cara, yang barangkali akan menabrak regulasi yang ada, untuk meloloskan calon kepala daerah yang diusungnya. Potensi pelanggaran atas peraturan yang berlaku haruslah ditindak agar proses pemilihan kepala daerah berlangsung secara langsung, bebas, jujur, dan adil.
Pada umumnya, setiap pelanggaran yang muncul akibat tidak taatnya calon kepala daerah dalam melaksanakan ketentuan yang ada, akan langsung diberikan peringatan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah. Namun mekanisme lain dalam upaya mengontrol proses berjalannya pemilihan kepala daerah ini terkendala oleh SDM penyelenggara yang terbatas. Hal ini menuntut masyarakat pro aktif dalam mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah dimasing-masing wilayah.

MINIMNYA PERLINDUNGAN SAKSI DAN PELAPOR

Mekanisme pelaporan jika terjadi pelanggaran adalah salah satu cara bagi pengawas pemilu dalam memberikan stimulan kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam mengawasi proses pemilihan kepala daerah. Sistem demokrasi yang memiliki desain “pemerintahan dari rakyat untuk rakyat”, telah memberikan kuasa penuh kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang dipercaya menjalankan roda pemerintahan. Keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi pemilihan kepala daerah ini menjadi modal utama dalam menjalankan sistem demokrasi itu sendiri.
Namun, mekanisme pelaporan yang tersedia saat ini masih minim digunakan oleh masyarakat dalam upaya ikut mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah. Hal ini dikarenakan efek yang muncul ketika seseorang tersebut melaporkan dugaan pelanggaran ke pengawas pemilu. Seperti yang sudah saya paparkan diatas, adanya intimidasi dari kelompok pendukung mayoritas, menyebabkan masyarakat enggan untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Bahkan intimidasi lain yang muncul juga berasal dari penguasa itu sendiri. Ketika calon kepala daerah tersebut adalah seorang incumbent, maka terdapat kemungkinan dia menggunakan pengaruhnya dalam pemerintahan untuk melakukan intimidasi struktural agar dirinya kembali terpilih sebagai kepala daerah. Intimidasi struktural ini bukan menjadi rahasia lagi dalam proses pemilihan kepala daerah. Namun juga tidak dibenarkan intimidasi struktural ini menjadi sebuah budaya ketika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah berlangsung.
Perlindungan bagi pelapor dan saksi dalam proses pengawasan pemilihan kepala daerah ini dipandang perlu demi tercapainya masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang sadar akan perannya yang begitu besar dalam melanggengkan sistem demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia. Akan tetapi, belum adannya regulasi khusus yang mengatur tentang perlindungan saksi dan pelapor  pemilihan kepala daerah menjadi hambatan tersendiri. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang ada saat ini tidak mampu mengcover masyarakat dari resiko “dilaporkan balik” oleh terlapor. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pun hanya mencover perlindungan bagi pelanggaran tindak pidana. Padahal, jika kita mengacu pada peraturan mengenai pemilihan kepala daerah, jenis-jenis pelanggaran yang terdapat tidak hanya pelanggaran pidana saja, melainkan terdapat juga pelanggaran administrasi dan kode etik, dimana kedua pelanggaran ini juga memiliki resiko yang sama. Lalu bagaimana pengawas pemilu dapat melindungi pelapor dan saksi dari resiko “dilaporkan balik”?

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jelas tidak mengcover perlindungan bagi pelanggaran diluar tindak pidana. Selain daripada itu perlindungan khusus atas laporan tindak pidana juga hanya melindungi pelapor dan saksi tindak pidana khusus yang dalam hal ini adalah Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kategori pelanggaran yang terdapat dalam pelanggaran peimilihan kepala daerah tidak dapat dicover dalam undang-undang ini. Mereka hanya dapat dilindungi oleh KUHP, dimana jika mereka mendapat ancaman, dapat melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian. Namun payung hukum KUHP ini dirasa kurang cukup dalam upaya masyarakat menegakkan keadilan dalam pemilihan kepala daerah. Resiko “dilaporkan balik” atau bahkan resiko intimidasi sosial (yang berasal dari komunitas masyarakat) serta intimidasi struktural (yang berasal dari kekuasaan) masih menghantui masyarakat. Jika berkenan, pemerintah dapat mengajukan RUU terkait perlindungan saksi dan korban secara menyeluruh untuk segala jenis pelanggaran beserta pengaturan hak-hak perlindungan yang akan diperoleh saksi dan korban. Namun jika sebaliknya, maka menjadi utopis demokrasi yang bermuara pada kedaulatan rakyat akan terwujud.

1 komentar:

  1. Tercerahkan.... berarti harus revisi dulu yak... kalau seseorang melapor kepada panwas pelanggaran administrasi dan/atau kode etik dengan kondisi 3+2 hari yg dimiliki oleh panwas untuk melakukan penanganan, kecuali pelanggaran terang benderang maka besar kemungkinan akan dilapor balik oleh terlapor. Yang tidak mengenakan bagi si pelapor adalah, dilaporkan tindak pidana pencemaran nama baik padahal si pelapor hanya melaporkan administrasi atau kode etik

    BalasHapus